Well, awalnya hanya dalam hati memanjatkan doa untuk sejawat dr. Andra serta untuk keluarga yang ditinggalkan
Berharap Ayah dan Bunda yang pasti sangat kehilangan bisa kuat melewati masa-masa sulit ini
Berdoa agar Ayah dan Bunda yang pastinya sangat bangga pada sosok Andra, bisa tegar menerima kenyataan putra mereka tidak lagi bisa mereka peluk tubuhnya atau bahkan hanya sekedar mendengar suaranya
Ini bukan sekedar perasaan simpati dan berduka yang "asal lewat"
Tapi ada empati disana, perasaan kehilangan saudara
Kemudian dalam hitungan hari, situasi seperti "memanas"
Masyarakat di luar disiplin ilmu kami, sebagian mulai menunjukkan simpati
Tapi ada juga sebagian lain yang "nyeleneh"
"Salah sendiri jadi dokter, resiko kali"
"Dokter kok ngeluh"
"Ya tugas dokter kan memang mengabdi"
Lagi-lagi saya cuma berkomentar dalam hati dan meminta hati bersabar serta banyak istighfar : Maafkan mereka yang tidak tahu medannya, Dek
Mustahil menyamakan persepsi seluruh rakyat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, budaya, profesi, dan sebagainya, Karena itu bagi saya, diam terkadang menjadi pilihan terbaik
Saya pun tidak mau angkat bicara soal kelakuan anggota dewan yang diberitakan media, demo-demo buruh yang terus minta kenaikan gaji, atau peraturan-peraturan daerah yang "ajaib", sepatah kata pun saya tidak pernah komentar, karena selama ini saya hanya tahu dari media, tempat menjual berita, apa yang disampaikan belum tentu benar (dan untuk hal ini profesi kami sering jadi korban bumbu-bumbu media)
Tapi kemudian ada yang menggelitik dan sangat potensial untuk dikomentari ketika "beliau" pun secara terang-terangan -katakanlah- "salah sebut" soal dokter internsip
Saya bisa dengan lapang dada menerima atau pelan-pelan menjelaskan ketika ada yang bertanya (atau berkata) "Oh...ini internsip? Habis selesai itu baru jadi dokter, ya?" atau "Koasnya kapan selesai? Ko' pindah lagi?" atau "Kapan selesai kuliah? Nanti rencana mau kerja "beneran" dimana?" (Padahal kami lagi internsip, sudah l.u.l.u.s dokter)
Nah pertanyaan macam ini biasanya saya jelaskan pelan-pelan karena menurut saya mereka bertanya karena mereka tidak tahu sistem pendidikan dokter
Barangkali, maksud orang awam pun mengatakan dokter muda adalah dokter yang usianya masih muda (sekali lagi, saya anggap orang awam tidak paham makna sebutan itu)
Tapi sebenarnya tidak demikian di sistem pendidikan kami
Dokter muda di sistem pendidikan kami adalah sarjana kedokteran yang setelah tiga setengah tahun duduk di bangku perkuliahan, mendengarkan dosen, mengenali anatomi manusia lewat cadaver, praktikum di laboratorium kampus, kemudian belajar langsung ke pasien,
Mereka inilah yang disebut koas, yang disebut dokter muda, yang disebut mahasiswa, yang masih diuji di setiap stase kepaniteraannya
Lain halnya dengan dokter internsip, yang terjun ke rumah sakit setelah lulus uji kompetensi dokter dan sudah disumpah dokter. Mereka bukan lagi mahasiswa, tidak ada lagi ujian
Dokter internsip diminta belajar soal tanggung jawab dengan supervisi
Yang lucu dan agak susah diterima adalah ketika "sang pemilik sistem" mengatakan kami adalah mahasiswa
Tapi ya sudahlah, urusan beliau kan banyak sekali, mungkin rentetan pertanyaan wartawan dengan embel-embel dokter muda yang selalu disebut media, membuat beliau ikutan keserimpet
Mau ngomong "dokter masih muda" jadi "dokter muda"
Mau ngomong "tidak lagi di bawah dikti" yang terucap malah "mereka di bawah dikti"
Mau ngomong "mereka bukan lagi mahasiswa" jadi "mereka mahasiswa"
Beliau mungkin terlalu lelah :)
Barangkali...
Da kita mah apa atuhlah, cuma pengikut program
Mudah-mudahan ke depannya menjadi pelajaran untuk kita semua
Baik pemegang kekuasaan maupun yang mengikuti kebijakan
Kelak, jika salah satu dari kita jadi petinggi di kemudian hari, ingat hari ini dimana kita pernah kecewa pada sistem