Jumat, 13 November 2015

Hello Dokter Internsip

Menyimak pemberitaan soal dokter internsip akhir-akhir ini...
Well, awalnya hanya dalam hati memanjatkan doa untuk sejawat dr. Andra serta untuk keluarga yang ditinggalkan
Berharap Ayah dan Bunda yang pasti sangat kehilangan bisa kuat melewati masa-masa sulit ini
Berdoa agar Ayah dan Bunda yang pastinya sangat bangga pada sosok Andra, bisa tegar menerima kenyataan putra mereka tidak lagi bisa mereka peluk tubuhnya atau bahkan hanya sekedar mendengar suaranya
Ini bukan sekedar perasaan simpati dan berduka yang "asal lewat"
Tapi ada empati disana, perasaan kehilangan saudara

Kemudian dalam hitungan hari, situasi seperti "memanas"
Masyarakat di luar disiplin ilmu kami, sebagian mulai menunjukkan simpati
Tapi ada juga sebagian lain yang "nyeleneh"
"Salah sendiri jadi dokter, resiko kali"
"Dokter kok ngeluh"
"Ya tugas dokter kan memang mengabdi"
Lagi-lagi saya cuma berkomentar dalam hati dan meminta hati bersabar serta banyak istighfar : Maafkan mereka yang tidak tahu medannya, Dek

Mustahil menyamakan persepsi seluruh rakyat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, budaya, profesi, dan sebagainya, Karena itu bagi saya, diam terkadang menjadi pilihan terbaik
Saya pun tidak mau angkat bicara soal kelakuan anggota dewan yang diberitakan media, demo-demo buruh yang terus minta kenaikan gaji, atau peraturan-peraturan daerah yang "ajaib", sepatah kata pun saya tidak pernah komentar, karena selama ini saya hanya tahu dari media, tempat menjual berita, apa yang disampaikan belum tentu benar (dan untuk hal ini profesi kami sering jadi korban bumbu-bumbu media)

Tapi kemudian ada yang menggelitik dan sangat potensial untuk dikomentari ketika "beliau" pun secara terang-terangan -katakanlah- "salah sebut" soal dokter internsip
Saya bisa dengan lapang dada menerima atau pelan-pelan menjelaskan ketika ada yang bertanya (atau berkata) "Oh...ini internsip? Habis selesai itu baru jadi dokter, ya?" atau "Koasnya kapan selesai? Ko' pindah lagi?" atau "Kapan selesai kuliah? Nanti rencana mau kerja "beneran" dimana?" (Padahal kami lagi internsip, sudah l.u.l.u.s dokter)
Nah pertanyaan macam ini biasanya saya jelaskan pelan-pelan karena menurut saya mereka bertanya karena mereka tidak tahu sistem pendidikan dokter

Barangkali, maksud orang awam pun mengatakan dokter muda adalah dokter yang usianya masih muda (sekali lagi, saya anggap orang awam tidak paham makna sebutan itu)
Tapi sebenarnya tidak demikian dsistem pendidikan kami
Dokter muda di sistem pendidikan kami adalah sarjana kedokteran yang setelah tiga setengah tahun duduk di bangku perkuliahan, mendengarkan dosen, mengenali anatomi manusia lewat cadaver, praktikum di laboratorium kampus, kemudian belajar langsung ke pasien,
Mereka inilah yang disebut koas, yang disebut dokter muda, yang disebut mahasiswa, yang masih diuji di setiap stase kepaniteraannya
Lain halnya dengan dokter internsip, yang terjun ke rumah sakit setelah lulus uji kompetensi dokter dan sudah disumpah dokter. Mereka bukan lagi mahasiswa, tidak ada lagi ujian
Dokter internsip diminta belajar soal tanggung jawab dengan supervisi

Yang lucu dan agak susah diterima adalah ketika "sang pemilik sistem" mengatakan kami adalah mahasiswa
Mahasiswa yang tidak lagi dianggap kampusnya masing-masing mungkin, ya
Tapi ya sudahlah, urusan beliau kan banyak sekali, mungkin rentetan pertanyaan wartawan dengan embel-embel dokter muda yang selalu disebut media, membuat beliau ikutan keserimpet
Mau ngomong "dokter masih muda" jadi "dokter muda"
Mau ngomong "tidak lagi di bawah dikti" yang terucap malah "mereka di bawah dikti"
Mau ngomong "mereka bukan lagi mahasiswa" jadi "mereka mahasiswa"
Beliau mungkin terlalu lelah :)
Barangkali...


Da kita mah apa atuhlah, cuma pengikut program
Mudah-mudahan ke depannya menjadi pelajaran untuk kita semua
Baik pemegang kekuasaan maupun yang mengikuti kebijakan
Kelak, jika salah satu dari kita jadi petinggi di kemudian hari, ingat hari ini dimana kita pernah kecewa pada sistem






Jumat, 24 Juli 2015

Untunglah Kalian Dulu Memutuskan Bersama

Aku hanya seorang Nurul.
Seperti juga saudaraku yang lain.
Hanya kami. Tidak pernah begitu istimewa. Selain memiliki orang tua yang istimewa.
Yang selalu mengajarkan kami untuk menjadi pribadi-pribadi yang suka memeluk dan mencium saudara kami.
Kami anak baik-baik? Tidak. Kami nakal.
Ya kami nakal. Kami merajuk, membolos saat kelelahan, cemberut saat tidak mendapatkan mainan.
Tapi mereka yang kami panggil mommy dan daddy menjelaskan berkali-kali.
Tanpa bosan.
Betapa menahan diri itu baik, maka kami belajar menerima saat kami tidak mendapatkan yang kami ingini.
Menuntut ilmu adalah kewajiban, maka kami kembali belajar sekalipun keinginan bersenang senang sangat besar.
Bahwa tersenyum adalah ibadah, memberinya kepada orang lain termasuk sedekah.
Kami akhirnya selalu menyerah mencari alasan untuk tidak menurut.
Mereka benar.
Dan...
Ini kami. Memang akhirnya tumbuh menjadi anak-anak yang selalu dibilang kurang pergaulan.
Anak-anak yang berkutat dengan les ini itu dan lebih suka di rumah.
Atau menghabiskan waktu berdiskusi dengan orang tua kami soal apapun.
Soal agama kami, hidup kami, akademis kami, film yang kami tonton. Apapun.
Kami bahagia demikian.
Sekalipun kadang antar aku dan kakak serta adikku harus saling pandang tatkala melihat teman kami memegang gadget atau mainan baru dan kami harus bersabar melihat nilai laporan hasil belajar.
Kami juga tidak terbiasa menggunakan brand-brand ternama, selalu merasa cukup dengan brand kelas menengah. Asal awet, cukup.
Saling mengapresiasi dengan pujian karya saudara kami, sekalipun di luar sana banyak yang lebih baik, tapi menghargai pekerjaan saudara kami adalah keharusan bagi kami.
And thanks for that. Didikan macam ini membuat kami memahami arti berjuang sebelum mendapatkan reward yang pantas.
Mengerti cara menghargai tetes keringat orang lain ketika memperjuangkan sesuatu.
Ini kami.
Besar dengan dongeng-dongeng yang diceritakan daddy dengan permainan suaranya yang luar biasa.
Belajar mengurus rumah tangga saat mommy kemudian sekolah lagi dan daddy sibuk bekerja.
Kami yang pernah tidak memiliki apa-apa dan tetap diajarkan berbagi.

Dan inilah syukur terbesarku dan juga saudaraku hingga hari ini....
Syukurlah kalian memutuskan bersama sekian tahun lalu sebelum kami hadir....
Sehingga hari ini ada empat orang anak yang sekalipun saling "bully" tapi tidak pernah berhenti mencintai...


Senin, 29 Juni 2015

Kata Orang, kami...

Coretan halus soal tiga ribu orang yang belum bisa berangkat mengabdi, saya pernah tertunda tapi perkara kisruh petinggi penyelenggara uji kompetensi. Dan saya tahu rasanya menunggu dan menghadapi pertanyaan orang tua:
"Jadi kapan kamu internsip?"

-----
Kata orang,
Kami adalah sekumpulan anak-anak orang kaya yang beruntung bisa kuliah di fakultas kedokteran.
Yang orang tidak tahu, orang tua kami membanting tulang demi menyekolahkan kami, bukan hanya dengan mengedipkan mata dan menjatuhkan air mata berupa rupiah.

Kata orang,
Kami adalah anak-anak berkelakuan eksklusif yang jarang bergaul dengan disiplin ilmu lain.
yang orang tidak tahu, kami sibuk dengan wrap up saat kuliah, laporan praktikum, ujian tanpa putus, menghafal di lab anatomi saat kuliah dan sibuk "bekerja" serta membuat laporan kasus atau referat saat koas.

Kata orang,
Kami harus belajar yang benar dan sungguh-sungguh karena yang kami tangani adalah manusia.
Sudah, kalau kami lengah sedikit, sudah pasti kami tidak lulus ujian pre klinik, ujian di setiap stase kepaniteraan, dan uji kompetensi, bukan?


Kata orang,
Kami harus memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi terhadap pasien.
Sudah, tidak ada dokter yang melakukan pembiaran saat pasiennya datang untuk berobat. Jiwa itu tumbuh dengan sendirinya.


Kata orang,
Kami harus ikhlas dalam menjalani pekerjaan kami dan tidak mengharap balas jasa berlebih.
Sudah, coba ceritakan pernahkan kami menuntut kenaikan upah dan berteriak di jalan bahwa apa yang kami terima kadang tidak cukup?


Lantas kapankah bagian kami bercerita soal kami?
Bahwa setelah lulus serangkaian ujian kami masih harus menganggur menunggu internsip tanpa kejelasan nasib?
Bahwa sambil menunggu kami tidak bisa melakukan apapun selain melanggar peraturan dengan berjaga di klinik tanpa surat tanda registrasi atau bahkan tanpa kegiatan apapun?
Bahwa setelah diberangkatkan, kami seperti anak kehilangan induk yang katanya bekerja dibawah supervisi tapi lebih sering duduk sendiri?


Kami terlihat happy, tapi kami selalu menanti.


Menanti perbaikan sistem ini sekalipun perlahan tapi pasti.
Menanti yang mengatur kami memiliki hati dan mengerti posisi kami. 
Tahukah kami sedemikian menunggu?
Dan selalu menunggu.
-----
Bersabar sedikit lagi ya, Sejawat



Jumat, 08 Mei 2015

Yes, We Do Fun (even not in dufan :D)

--------
We may have a different day and night. But we enjoy it!
-------

Hai, IGD
Hallo, Bangsal
Heyho, Poli
Hi, Realita
Aku, teman sejawatku, atau senior-seniorku dalam pengabdian punya hidup yang sedikit berbeda dengan pekerja kantoran.
Jam kerja yang ritmenya sedikit berbeda. Menghadapi bukan hanya penyakit tapi juga berbagai karakter manusia.
Bukan hanya harus memahami ilmu medis yang dicekoki sepanjang pendidikan tapi juga berkomunikasi secara "awam" dan prosedur jaminan kesehatan yang memusingkan.
Memasang badan menghadapi emosi pasien saat panik, berduka, dan marah.

Ibu,
Aku harap ibu tidak sedih dan tidak keberatan jika pulang nanti kantung mata senantiasa terlihat di bawah mataku tanda aku kurang tidur.
Atau ketika pulang ke rumah ibu melihat mata sembabku karena terlalu banyak tidur.
Mencoba "balas dendam" akan kurang tidur di rantau.

Ayah,
Bisa jadi malam ini alas tidurku begitu rapi karena belum kesentuh. 
Lalu besok menjadi sangat berantakan karena aku tidur sesukaku dan menenggelamkan diri dalam tidurku untuk menghilangkan kantukku.
Kemudian bisa jadi di malam yang lain aku berjanji memijat ayah saat di rumah sampai ayah tertidur.
Nyatanya aku yang tertidur lebih dulu dan bersandar pada bahu ayah yang nyaman.
Jangan marah jika ada orang lain yang bukan siapa-siapa membentakku, Yah. Hal yang tentunya ayah selalu hindari.
Percayalah mereka hanya emosi sesaat dan tidak akan mengulanginya lagi.

Aku dan teman seprofesiku kadang tidak menyadari soal tanggal merah atau akhir pekan.
Karena bukan begitu caraku dan teman-teman libur.
Pukul satu siangku dan teman-teman bukan di kantin duduk manis dengan makan siang dan segera kembali ke ruangan saat istirahat selesai.
Pukul satu siang kami bisa jadi sedang menggali riwayat penyakit pasien, melakukan pemeriksaan, atau resusitasi.

Tapi aku menikmati setiap senti perjalanan yang Allah siapkan.
Nyatanya, cara hidup berbeda tetap membuatku bahagia.
Kalian juga, kan?
Melihat teman sepermainan kemudian menikah dan hidup sesuai "mimpi," tapi aku siap harus sedikit menahan diri.
Aku suka di pekerjaan ini.
Aku suka saat ada tangan menyentuhku dan bilang "terima kasih."
Aku senang saat mereka yang datang berkeringat dingin dan kesakitan kemudian membaik.
Aku mengucap syukur ketika mereka bilang mereka sudah lebih sehat.


Lalu kemudian, semua perbedaan yang kusebutkan sebelumnya terbayar, kan?
Masa muda kami seperti ini, tapi kami suka menjadi muda yang seperti ini.
Sehat selalu, Kalian yang di rumah
Sehat selalu, Teman sejawat
Sehat selalu, Petugas kesehatan
Sehat selalu, Pekerja jasa
Sehat selalu, Kalian yang tidak kukenal




Selasa, 09 Desember 2014

Dibalik Keceriaan Dokter Internsip

Apa yang ingin kami sampaikan bukan keluhan "manja". 
Kami hanya berbagi cerita. 
Ada sedikit goresan buram dari perjalanan ini.
Mewakili curahan hati ribuan anak yang ingin meringankan beban orang tua masing-masing.
Sebut kami doksip,dokter internsip. 
Bukan dokter muda,tapi dokter yang masih muda. 

Awal menginjakan kaki di wahana internship,kami berharap banyak. 
Baiklah,lima tahun lebih menempuh pendidikan di fakultas kedokteran,akhirnya selesai sudah. 
Masing2 dari kami sudah memegang ijazah dokter. 
Dengan ijazah digenggaman,berharap ada yang bisa kami bagi pada keluarga dan menyenangkan orang tua dengan menyisihkan sebagian rupiah yang kami terima sebagai bentuk balas jasa meski tidak akan pernah sebanding dengan yang pernah mereka beri.

Oh,kami salah,setelah ratusan juta yang orang tua kami keluarkan selama masa pendidikan,beban mereka tidak berhenti sampai disana saja. 
Bahkan setelah memiliki gelar,kami masih juga menjadi beban.
Kami masih juga berdiri di depan anjungan tunai mandiri menunggu transferan orang tua kami masing-masing.

Menyadari berpuluh tahun mereka yang begitu lelah bekerja,ah,maafkan kami ya ayah,bunda...belum juga mampu untuk hidup mandiri. 
Sampai disini pun masih menguras kantung orang tua untuk mencari tempat tinggal. 
Tidak sampai disana,ongkos dan makan masih harus mereka tanggung sambil menunggu tabungan kami memunculkan angka 2.5 juta. Entah apa setelah terbayarkan kami tidak lagi membebani mereka. 
Biaya di sini berbeda jauh dengan di tanah jawa. 
Belum lagi susah payah mencari tempat tinggal sekitar wahana,ternyata kami harus menerima kenyataan kami terbagi bergantian.
Bahkan di fasilitas kesehatan primer,mereka menunjuk beberapa tempat dan tiap beberapa hari kami memutar giliran berusaha terbagi adil. 
Kala sakit pun kesehatan kami tidak terjamin.

Maaf ya ayah,bunda,masih setahun lagi sampai kami benar-benar mandiri dan tidak lagi membebani. 
Kadang ada air mata yang jatuh saat kami tidak lagi ingin meminta tapi tidak memiliki daya. 
Saat menunggu ketidakpastian dan kami masih selalu berharap. 
Sebuah kelayakan hidup tanpa lagi mengganggu kantung orang tua kami.Kami terlalu tua untuk itu.

Oh bukan,kami tidak mengeluh,kami hanya berbagi,toh tidak ada aksi demo atau mogok bekerja dengan kondisi seperti ini.
Kami tetap mengukir bahagia untuk dijadikan kenangan kelak dalam perjalanan kami.
Kami berusaha menikmati setiap menit kami di daerah yang bisa jadi sangat jauh dari orang tua.
Dalam doa tiap-tiap kami meminta,selalu limpahkan rezeki dan kesehatan pada orang tua kami.
Selalu dalam lindunganNya.

Pengalaman ini memang luar biasa.
Semakin membuat kami menghargai yang kami punya.

...kami jatuh cinta pada pekerjaan kami,tapi kami juga mencintai orang tua kami dan ingin mengurangi beban mereka dengan minimal mampu menanggung beban hidup sendiri...



Senin, 14 Juli 2014

Ini (BUKAN) Pujian

Ini bukan rentetan pujian.
Bukan sama sekali.

Begini,ya.
Aku tidak pernah tau akan seperti saat ini.
Ada dalam suatu kebahagiaan yang aku bangun benar-benar di bawah.
Dari hanya mencuri pandang diam-diam sampai saling beradu pandang dalam-dalam.
Dari hanya berbincang singkat sampai tidak berhenti membicarakan begitu banyak hal.
Mulai pada kesamaan nasib yang berganti sama-sama mengadu nasib.
Mulai pada tersenyum dalam diam sampai tertawa lebar bersama.
Yang awalnya aku lihat tapi tidak aku perhatikan.
Aku dengar tapi tidak aku tanggapi.
Seorang yang mendekat malu-malu dan perlahan.
Yang selalu memuji namun juga selalu aku abaikan.

Aku tadinya memang tidak yakin akan seberapa jauh berjalan.

Tapi kemudian menjadi semakin yakin.
Bagaimana aku masih meragu sementara aku lihat memang sosoknya luar biasa bagaimapun orang bercerita tentang dia (yang semua orang merasa begitu mengenalnya).
Lantas aku harus peduli ketika orang lain berkata kasar soal siapa yang bersamaku tapi aku merasakan yang berbeda?
Aku bukan tidak peduli pada masa lalu,aku hanya memberi kepercayaan dan kesempatan.
Karena di masa yang sekarang aku belum menemukan celanya.

Mencari sosok rupawan darinya aku dapat.
Dewasa? Aku tidak ragu pada kematangan pribadinya.
Kepintaran pun seperti melekat pada sosoknya.
Lalu sabar? Dia selalu enggan membentak dan berbicara keras,ucapnya lembut dan tidak penuh caci.
Rasanya,aku belum pernah kecewa pada sosoknya.

Lantas aku harus bagaimana sementara aku merasakan sesuatu yang luar biasa darinya?
Lantas aku harus berdiri sejauh apa sementara aku selalu ingin dekat?
Lantas aku harus percaya pada telinga atau mata dan perasaanku?7
Lantas aku harus berhenti mengagumi orang yang bisa membuatku merasa sangat beruntung?

Dia sehebat itu?
Iya,dia sehebat itu.
Aku tadi bilang ini bukan pujian, ya?
Tapi sulit sekali rasanya jika harus menulis tanpa memuji sosok ini.
:D



Cerita Dia Dibalik Uji Kompetensi (2)

Pengejaran untuk mencapai yudisium tepat waktu sudah dikerjakan dengan manis sekali. 
Dari mulai usaha berlandasan kemampuan pikir seperti skripsi sampai usaha yang memberatkan orang tua macam biaya puluhan juta.
Lega, tapi tidak lama karena ternyata petinggi-petinggi penyelenggara uji kompetensi tidak juga mencapai kata sepakat dalam penyelenggaraan ujian.
Kampus sudah berkali-kali mengajak mahasiswanya bertemu dan menjelaskan kondisi saat itu mengenai uji kompetensi periode Mei.

Kami hanya bisa tertunduk dan mengikuti alur,sebagian teman kami yang lain berjuang untuk mengikuti ujian yang kiranya akan dianggap sah dan dapat menerbitkan STR.
Sementara aku?
Lagi-lagi hanya ikut arus.
Sesering mungkin berbagi cerita dengan orang tuaku supaya mereka mengerti kondisi saat ini.
Mereka sebenarnya mungkin ingin secepat mungkin aku menyelesaikan terapi.
Ketimbang aku harus disini dengan ketidakpastian.
Suasana yang sungguh membuatku tidak nyaman.

Sekali lagi aku tegaskan aku memang hanya ikut arus tidak berbuat banyak seperti sebagian teman-teman yang berjuang mendapatkan kepastian ujian.
Bukan sama sekali tidak mau berperan serta atau tidak mendukung gerakan mereka.
Tapi sepertinya kami memiliki medan perang sendiri. Sementara ada mereka yang berjuang demi teman2,aku cukuplah berjuang demi orang tuaku dan mereka yang menyayangiku.

Dan pada titik dimana aku mulai sering absen bimbingan belajar,kepastian justru datang dan ujian kompetensi akan dilaksanakan dalam waktu yang maju sekali dari perkiraanku.
Sedikit terburu2 mengurus ini itu. 
Tapi toh dengan izinNya semua selesai,ujian berjalan,dan kami yang sudah lama terombang ambing akhirnya lulus.
Dan airmata yang menetes hari itu adalah perasaan luar biasa bisa menggapai satu mimpi di titik terberat selama menempuh pendidikan ini.

Sekarang,ijazah dokter di tangan kami sudah bisa dipertanggungjawabkan.
:)